Momentum Hari Pahlawan 10 November bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah panggilan moral untuk menyalakan kembali semangat juang dan nasionalisme yang diwariskan para pendahulu bangsa. Dari ufuk timur Indonesia, nama Abdul Muthalib Sangadji (A.M. Sangadji) berdiri sebagai simbol perjuangan yang lahir dari tanah Maluku, namun gaung semangatnya melintasi batas wilayah, suku, dan agama.
A.M. Sangadji adalah tokoh pergerakan nasional yang memainkan peran penting dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan di awal abad ke-20. Bersama tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, ia aktif dalam Sarekat Islam, memperjuangkan keadilan sosial dan kemerdekaan rakyat dari penindasan kolonial. Keberaniannya berbicara di forum-forum nasional dan internasional menjadikannya pahlawan yang tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan pena, gagasan, dan integritas moral.
Bagi masyarakat Maluku, A.M. Sangadji bukan sekadar kebanggaan daerah. Ia adalah lambang persatuan dan keberanian berpikir maju, sosok yang menunjukkan bahwa menjadi pahlawan tidak harus menunggu perang. Kepahlawanan, menurut Sangadji, dimulai dari kejujuran, kerja keras, dan keberanian membela kebenaran di tengah ketidakadilan.
Kini, ketika bangsa menghadapi tantangan zaman krisis moral, intoleransi, dan menurunnya rasa kebangsaan semangat Sangadji harus kembali dihidupkan. Perjuangan hari ini bukan lagi melawan penjajah bersenjata, melainkan melawan kebodohan, korupsi, dan perpecahan yang menggerogoti fondasi bangsa.
Hari Pahlawan seharusnya menjadi cermin bagi diri kita sendiri: sejauh mana api perjuangan itu masih menyala dalam kehidupan sehari-hari? A.M. Sangadji dan para pahlawan lain telah menyalakan obor kemerdekaan dan kini, tugas kitalah menjaga agar nyalanya tidak padam.
Dari Maluku untuk Indonesia, semangat Sangadji terus hidup: dalam pikiran yang merdeka, hati yang bersatu, dan tekad untuk menegakkan keadilan di bumi pertiwi.



















