Oleh : Redaksi asammanis.news
Di antara deretan nama yang bekerja senyap namun berdampak besar dalam pemerintahan, nama Febry Calvin Tetelepta mencuat sebagai sosok yang tak hanya berpikir strategis, tetapi juga bertindak dengan kedalaman nurani. Pria kelahiran Ambon, 14 Februari 1969 ini, adalah salah satu putra terbaik Maluku yang memilih jalur sunyi pengabdian: merawat republik ini dari balik layar kekuasaan, dengan pendekatan mediasi, kepemimpinan, dan dedikasi tanpa pamrih.
Jejak Awal dari Timur Indonesia
Febry Calvin Tetelepta lahir dan tumbuh di Ambon, sebuah kota yang dikenal dengan keragaman budaya dan kekuatan spiritualitasnya. Dari lingkungan ini, Febry mengasah sensitivitas sosial, sekaligus membangun fondasi nilai hidup yang kelak menjiwai seluruh kiprahnya di tingkat nasional. Ia memilih studi Filsafat di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), sebuah keputusan intelektual yang mencerminkan ketertarikannya pada kedalaman berpikir, refleksi, dan pengabdian terhadap kemanusiaan.
Setelah menyelesaikan studi filsafat, Febry melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister di bidang Hukum di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Saat ini, ia masih melanjutkan pendidikan program doktoralnya di bidang yang sama. Tidak hanya berbekal wawasan akademik, Febry juga mengasah kapasitas strategisnya melalui Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLV di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia tahun 2010—satu dari sedikit lembaga pendidikan tertinggi di bidang kepemimpinan nasional.
Meniti Karier di Pusat Pengambilan Keputusan
Karier Febry dalam pemerintahan dimulai dari berbagai peran penting, baik di sektor publik maupun privat. Ia sempat menjabat sebagai Direktur Operasional PT Satya Upangga Indonesia, kemudian sebagai Komisaris Independen PT Mitra Bala Satya. Namun, titik balik dalam kariernya dimulai saat ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia pada tahun 2015. Dari sana, langkahnya menuju lingkaran inti pemerintahan nasional menjadi tak terhindarkan.
Pada tahun yang sama, Febry bergabung dengan Kantor Staf Presiden Republik Indonesia sebagai Tenaga Ahli Utama. Dalam posisi ini, ia menangani isu-isu strategis nasional, mulai dari kebijakan pembangunan hingga negosiasi antarlembaga dan investor. Lima tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai Deputi I Kepala Staf Kepresidenan—sebuah jabatan kunci yang membawahi urusan infrastruktur, energi, dan investasi nasional.
Di posisi ini, Febry memainkan peran vital sebagai jembatan antara pemerintah pusat, daerah, investor, dan masyarakat. Ia dikenal sebagai negosiator ulung, komunikator strategis, dan mediator yang tangguh dalam meredakan konflik dan mempercepat proyek-proyek pembangunan yang tertunda. Banyak kepala daerah, menteri, maupun pelaku usaha mengakui kontribusinya sebagai aktor di balik layar berbagai keberhasilan nasional yang jarang muncul ke permukaan media.
Tak Lupa Tanah Asal
Meski berada di pusat kekuasaan, Febry tak pernah melupakan akar budayanya di Maluku. Ia adalah figur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, persaudaraan, dan solidaritas antarumat beragama. Setiap tahun, saat perayaan Idul Adha, ia rutin menyalurkan hewan kurban ke masjid-masjid besar di Ambon, seperti Masjid Raya Al-Fatah dan Masjid Agung An-Nur. Baginya, keberagaman bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dirayakan dan dirawat.
Febry juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap pengembangan sumber daya manusia Maluku. Ia memberikan program beasiswa doktoral kepada mahasiswa UKIM, dan secara aktif membuka ruang magang serta pelatihan kebijakan publik bagi mahasiswa asal Maluku di KSP dan proyek strategis nasional. Langkah ini ia pandang sebagai investasi jangka panjang bagi masa depan generasi muda Maluku.
Pada tahun 2023, masyarakat adat Jazirah Leihitu menganugerahkan kepadanya posisi sebagai Dewan Kehormatan DPP Hena Hetu—sebuah organisasi budaya dan sosial yang memiliki pengaruh kuat di wilayah tersebut. Pengukuhan ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga mencerminkan penerimaan dan harapan masyarakat terhadap kepemimpinan lokal yang menjunjung nilai-nilai keadilan, partisipasi, dan tanggung jawab sosial.
Sikap Kenegarawanan yang Langka
Ketika suhu politik di Maluku mulai menghangat menjelang Pemilihan Gubernur, nama Febry Calvin Tetelepta mencuat sebagai salah satu calon kuat. Ia mendaftarkan diri sebagai bakal calon Gubernur Maluku melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun dalam sebuah keputusan yang mencerminkan kedewasaan dan integritas politik, Febry memilih mundur dari pencalonan. Ia lebih memilih untuk tunduk pada keputusan partai, menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk melayani masyarakat.
Keputusan itu mengukuhkan citranya sebagai pemimpin yang tidak haus jabatan, tetapi konsisten dalam pengabdian. Di tengah kultur politik yang seringkali diwarnai ambisi dan transaksi, sikap Febry menjadi anomali yang menyejukkan—ia tidak sekadar hadir sebagai teknokrat, tetapi sebagai negarawan dalam makna yang sejati.
Penutup: Bekerja Diam-diam, Berdampak Besar
Figur seperti Febry Calvin Tetelepta adalah cermin dari kepemimpinan modern yang berbasis pada intelektualitas, integritas, dan empati. Ia tidak mencari sorotan kamera, tetapi berkomitmen penuh pada substansi kerja. Ia bukan orator di panggung kampanye, tetapi negosiator yang andal di ruang-ruang diskusi tertutup tempat kebijakan ditentukan.
Di balik senyumnya yang tenang dan tutur katanya yang lembut, tersembunyi visi besar tentang Indonesia yang inklusif dan berkeadilan. Ia merawat negeri ini bukan dengan retorika, tetapi dengan kerja konkret yang hasilnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Dalam dunia yang sering terjebak pada simbol dan citra, kehadiran Febry menjadi pengingat bahwa makna sejati dari pengabdian adalah melayani tanpa pamrih—bukan untuk dikenal, tetapi untuk berguna. AMN-1